A. 1. Kewibawaan pendidikan
Dalam devenisi kewibawaan tersebut antara lain tersurat karena”kekuatan pribadi pendidik”artinya,kewibawaan pendidik tidak terletak pada penampilan fisik seseorang saja seperti:postur tubuhnya,pakaian yang dikenakannya,dsb.memang benar bahwa pribadi menampilkan diri melalui tubuh atau kebadanianya, tetapi prbadi bukanlah badan dalam artian sesuatu yang bersifat fisik (keadaan) belaka.pribadi pendidik hakikatnya adalah kesatuan badani rohani.dengan kata lain, pribadi merupakan keseluruhan sifat-sifat seseorang yang menujukan watak,orang yang bersangkutan.sebab itu,tdak sewajarnya kita membuat dikotoni antara kewibawaan lahiriah(badanni) dan kewibawaan batiniah (rohaniah) dari seorang pendidik. Adapun yang dimaksud dengan kalimat ”mau menuruti pengaruh positif dari pendidiknya “ yang tersurat dalam devinisi kewibawaan itu,yakni kesediaan anak didik atas dasar kesadarannya,atas dasar pilihannya,atau atas dasar kebebasannya untuk menerima pengaruh yang baik-seperti: pelajaran,ajakan,contoh,nasihat,larangan,tugas, dsb-dari pendidiknya.
B. 2. Faktor-Faktor Penentu Kewibaan Pendidik
Kewibawaan tidak semata-mata ditentukan oleh hal-hal yang bersifat lahiriah (badaniah), sebab itu kewibawaan pendidik tidak akan muncul karena diturunkan secara genetika dari oreang tuanya.ataupun dapat turun maupun hilang dengan sendirinya.menurut M.J. Langeveld ( 1980:40-65) dalam hubungannya dengan anak didik,kewibawaan pendidik akan tertentukan oleh berbagai faktor,yaitu:
· kasih sayang terhadap anak didik
· kepercayaan bahwa anak akan mampu dewas
· kedewasaan
· identifikasi terhadap anak didik
· tanggung jawanb pendidikan
Kasih sayang Pendidik kepada Anak Didik. Dalam pergaulan pendidikan,motif intrinsik yang perlu ada pada diri pendidik adalah rasa kasih sayang terhadap anak didik.atas dasar kasih sayang ini pendidik akan rela berkorban demi kepentingan anak didiknya ,bahkan meskipun tanpa mendapatkan imbalan sekalipun,namun sebaliknya apabila motip pendidik tersebut bukan karena kasih sayang,misalnya karena gaji atau imbalan lainya,maka apabila imbalannya berkurang atau tidak ada,maka pendidik cenderung akan kurang bahkan tidak memberikan bimbingan dan tidakan-tindakan lainya,oleh karena itu dikatakan kasih sayang adalah dasar pendidikan. Jan Lightart (1959-1916) seorang ahli dari negeri belanda menyatakan : Pendidikan adalah soal kecintaan (kasih sayang),kesabaran,dan kebijaksanaan. Adapun kesabaran dan kebijaksanaan akan berkembang jika didukung oleh kecintaan(kasih sayang) (Ag.Soejono, 1928:72-73)
Kepercayan Pendidik Kepada Anak Didik. Pendidik harus percaya bahwa anak didiknya mampu berdiri sendiri,pendidik harus percaya bahwa lambat laun anak didiknya mampu mencapai kedewasaan.Kepercayaan pendidik terhadap anak didik semacam itu akan memberi dorongan,keberanian,keyakinan dan keinginan pada diri anak didik untuk berusaha agar menjadi dewasa.Karena kasih sayangnya,pendidik akan melindungi, membantu dan melakukan tindakan tindakan lain demi anak didiknya.adapun karena pendidik percaya bahwa anak didiknya akan mampu mencapai kedewasaan,maka pendidik juga akan memberikan kesempatan kepada anak didiknya untuk melindungi dan membantu dirinya sendiri.pendidik akan memberikan “pengawasan” yang wajar sehingga anak didik akan tetap bebas dan berani mengambil keputusan atau menentukan sikap dan tindakanya sendiri.
Kedewasaan Pendidik. Pendidik seharusnya adalah orang dewasa,artinya orang yang mampu menentukan diri atas tanggung jawab sendiri,dan turut serta secara kondtrukti dalam kehidupan masyarakat dimana ia hidup.kedewasaan ini merupakan bentuk yang mempunyai dua arti yaitu:
individualis,artinya bahwa orang dewasa itu telah menjadi manusia (pribadi)tertentu sebagai kesatuan nilai-nilai dan norma-norma yang diidentifikasikan oleh manusia tertentu tadi Orang dewasa adalah orang yang sudah jelas siapa sesungguhnya dirinya,memiliki kelebihan, keterampilan, sikap, nilai, dan norma dibanding anak , adapun semua itu harus direlisasikan dalam setiap perbuatanya. dalam pergaulan pendidikan,terintegrasinya pengetahuan, keterampilan, sikap,nilai,norma pada diri pendidik sangatlah ideal.sebab,hal ini merupakan metode mendidik dalam mempengaruhi anak didik yang akan turut menentukan keberhasilan pencapaian tujuan pendidikan. M.J. Langeveld mengemukakan bahwa cara mendidik itu memang dapat dipelajari sebagai suatu cara,dan cara mendidik itu merupakan cara pribadi seorang pendidik tertentu. Pendidik merupakan teladan bagi anak didiknya. Berdasarkan prinsip tersebut maka jelaslah bagi kita,bagi pendidikan susila yang doleh pendidik yang asusila,ataupun pendidikan disiplin yang dilakukan oleh orang yang tidak disiplin, tidak akan sanggup menciptakan syarat positip bagi perkembangan anak untuk menjadi orang yang bersusila dan disiplin.
Identifikasi Pendidikan. Dalam pergaulan pendidikan ,pendidik adalah pemangku kewibawaan,pendidik harus mengidentifikasi anak didiknya dan berdentifikasi terhadap anak didiknya sebagai penerima kewibawaan,artinya pendidik harus mengenali siapa hakikatnya anakl didik itu dan bertindak hendaknya dengan mempertimbangkan tentang hakikatnya anak didiknya itu.karena dengan mengidentifikasi anak didiknya,pendidik dapat mengenali berbagai karakeristik (seperti :tingkat kemampuan berfikir anak didik,minat dan bakat anak didik,dsb)akan mengetahui kepentingan anak didik dan memahami pentingnya menjaga anak didik.
Tanggung jawab Pendidik. Pendidik seharusnya orang dewasa,yaitu orang yang sudah mandiri dan bertanggung jawab,karena apabila dibandingkan dengan anak,pendidikharus sudah memiliki kelebihan baik dalam hal pengetahuan,keterampilan,sikap,nilai,norma dsb.sedangkan anak didik merupakan orang yang belum mandiri dan belum mampu bertanggung jawab,sehingga masih tergantung pada orang dewasa. Terdapat hubungan erat antara kewibawaan dan tanggung jawab sebagai salat satu ciri oerang yang sudah dewasa.disatu pihak pendidik haruslah orang dewasa,dan tanggung jawab pendidikan pun,ada pada orang dewasa, dipihak lain diarahkan agar anak mencapai kedewasaan sehubungan dengan ini maka lambat laun pendidik harus mengalihkan tanggung jawab kepada anak didik.sebab apabila diabaikan maka anak didik,akan tetap tinggal sebagai orang yang tidak dewasa.
C. Faktor penentu Kepenurutan Anak Didik kepada pendidik dalam Hubungan Kewibawaan
M.J Langeveld (1980) menjelaskan, bahwa kepenurutan anak didik kepada pendidik akan tertentukan oleh faktor sebagai berikut :
Ø Kemampuan anak didik dalam menyadari “diri /aku” dan memahami bahasa.
Ø Kepercayaan anak didik kepada pendidik
Ø Identifikasi
Ø Imitasi dan Simpati
Ø Kebebasan anak dalam menentukan sikap, perbuatan dan masa depannya.
Ø Kemampuan Anak Didik dalam Menyadari “diri /aku”-nya dan Memahami Bahasa. anak baru akan mengenal kewibawaan apabila ia telah mampu menyadari ”diri/aku” –nya dan telah memahami bahasa.
Secara psikologis diketahui bahwa penyadaran ”diri/aku” pada anak umumnya dimulai kurang lebih pada usia3,5 tahun. Sebelum masa ini anak belum menyadari ”diri/aku” – nya, sebelum masa ini anak belum bisa memisahkan atau belum dapat membedakan antara aku dengan engkau. Dengan alasan itulah dinyatakan bahwa hubungan kewibawaan baru akan terjadi ketika anak didik telah menyadari ”diri/aku” – nya.
Bahasa. melalui bahasa pendidik menyampaikan saran, suruhan, larangan, petunjuk – petunjuk atau pesan – pesan tentang apa yang seharusnya dan apa yang tidak seharusnya diperbuat anak didik, dsb. Melalui bahsa pula anak didik akan memahami petunjuk, pesan, saran, suruhan, larangan dsb dari pendidik. Penguasaan bahasa akan menjembatani ”bertemunya” pendidik dengan anak didik secara pribadi. Menurut M.J Langeveld (1980:45):”pemahaman bahasa untuk tiba pada kepenurutan atas dasar pengakuan kewibawaan telah mulai muncul (dalam bentuk yang sederhana) pada anak usia tiga setengah (3,5) tahun. Pada usia lima (5) tahun dan pada usia sekolah pengakuan kewibawaan itu akan kelihatan lebih jelas lagi. Sedangkan pada usia pubertas, karena ”aku ” si anak mempunyai peranan besar, maka sering terjadi krisis kewibawaan ”
Ø Kepercayaan Anak Didik kepada Pendidik. Dalam pergaulan pendidikan, apabila ke-5 faktor penentu kewibawaan tersebut telah terwujud dalam pribadi pendidik dan dipahami atau dirasakan adanya oleh anak didik, maka akan menimbulkan kepercayaan pada diri anak didik kepada pendidiknya.
Kepercayaan anak didik kepada pendidik adalah sesuatu yang sungguh berharga dan tidak boleh disia – siakan oleh pendidik. Kepercayaan anak didik kepada pendidik merupakan dasar kepenurutan anak kepada pendidik. Apabila anak didik telah percaya kepada pendidiknya, maka anak didik akan menurut (patuh) kepada pendidiknya.
Kepercayaan anak didik kepada pendidik mungkin akan hilang seandainya pendidik belum dewasa. Maksudnya bahwa pendidik itu tidak mempunyai kelebihan dalam berbagai hal, terutama apabila nilai – nilai dan norma – norma belum terintegrasi pada diri pendidik. Hal ini, akan menimbulkan ketidakpercayaan anak didik kepada gurunya. Lebih jauh dari itu, guru yang bersangkutan akan tidak lagi berwibawa di hadapan anak didiknya.
Ø Imitasi dan Simpati dan identifikasi Anak Didik kepada Pendidik. Imitasi. Imitasi adalah suatu proses meniru yang dilakukan seseorang terhadap orang lain. Orang yang melakukan imitasi tidak kritis terhadap apa yang ditirunya, bahkan ia tidak memahami apa sesungguhnya yang ia tiru. Contoh : Seorang anak meniru gerakan dan bacaan sholat yang dilakukan orang tuanya, padahal anak belum tau makna dari bacaan shalat itu apa sesungguhnya. Sebab itu, pendidik (guru) hendaknya betul – betul memperhatikan dan dapat mewujudkan faktor – faktor penentu kewibawaannya, sebab apa yang ditampilkan pendidik atau guru (mulai dari pakaiannya, pernyataannya, penguasaannya mengenai materi pelajaran, perbuatan, kebiasaan – kebiasaannya, dsb) kemungkinan akan ditiru oleh anak didiknya.
Simpati. Simpati adalah suatu keadaan keikutsertaan merasakan perasaan orang lain. Setiap anak didik pada dasarnya mempunyai potensi untuk bersimpati pada pendidiknya. Jika guru memberikan pelajaran, wejangan, ajakan, atau tugas kepada anak didiknya atas dasar kasih sayang dan demi kebaikan serta kebahagiaan anak didiknya di masa depan, maka anak didik pun akan dapat merasakannya bahwa semua itu adalah demi kebaikan dan keselamatan dirinya. Implikasi dari semua itu, maka anak didik akan dengan tulus menerima pelajaran, wejangan, ajakan, bahkan tugas sekalipun dari gurunya.
Ø Identifikasi. Dalam konteks bahasan ini, mengidentifikasi artinya mengenali, jadi anak didik akan berupaya mengenali pendidiknya.
Beridentifikasi berarti suatu upaya yang dilakukan anak didik untuk menghubungkan diri atau menyesuaikan diri atau ”menyamarkan” diri dengan perilaku pendidiknya, atau dengan nilai – nilai yang diterima. Dalam beridentifikasi terdapat kemungkinan munculnya kepenurutan anak didik kepada pendidik bukan lagi di karenakan ”keterikatannya kepada pribadi pendidik”, melainkan karena ”keterikatannya kepada nilai” itu sendiri atas pilihannya sendiri.
Ø Kebebasan. Pada akhirnya kepenurutan anak itu bukan lagi atas dasar pengaruh keterikatan pribadi anak didik kepada pendidiknya, melainkan atas dasar ”keterikatan kepada nilai – nilai dan norma - norma” yang hakiki yang terlepas dari hubungan dengan pendidiknya. Hasil berdasarkan kepenurutan yang bersifat aktif inilah yang disebut sebagai hasil upaya pendidikan yang sesungguhnya, sebab dengan demikian itulah anak mencapai kedewasaannya.
Pendidik yang berwibawa bukanlah pendidik yang ditakuti anak didiknya. Memang benar pendidik yang ditakuti akan dituruti (dipatuhi) oleh anak didiknya, tetapi perlu ditegaskan, bahwa kepenurutannya itu akan bersifat pasif, sehingga hanya akan menimbulkan hasil pendidikan yang bersifat semu belaka. Pendidik yang berwibawa ialah pendidik yang interaksi komunikasi dalam pergaulan dengan anak didiknya merupakan interaksi komunikasi antara subjek dengan subjek, yang mana pengaruh pendidik tersebut dapat diterima anak didik secara tulus atas dasar kemauan, pilihan dan kesadarannya sendiri atau atas dasar kebebasannya.
D. Pengalihan Tanggung Jawab,Bipolaritet Kewibawaan dan Implikasinya terhadap Batas-batas Pendidikan.
Pengalihan Tanggung Jawab dalam Pendidikan. Tanggung jawab merupakan salah satu ciri kedewasaan. Pendidikan diarahkan agar anak mencapai kedewasaan. Dalam situasi pendidikan pada awalnya tanggung jawab diberikan kepada pendidik. Namun seiring perkembangan anak menuju kedewasaannya, lambat laun tanggung jawab harus dialihkan oleh pendidik kepada anak didik dan begitupun anak didik harus berupaya menerima tanggung jawab tersebut. Sehingga akhirnya anak tidak lagi bergantung kepada pendidiknya dan mampu berdiri sendiri atas tanggung jawab sendiri (mencapai kedewasaan).
Bipolarotet Kewibawaan. Kewibawaan bersifat bipolaritet atau berada pada ketegangan polair (M.J. Lange-veld, 1980:61. Namun hal demikian dapat diselesaikan melalui pergaulan pendidik dengan anak didik yang berlangsung dalam hubungan kewibawaan.
Implikasi Kewibawaan dan Tanggung Jawab terhadap Batas-batas Pendidikan.
Ada dua alasan berkenaan dengan keharusan adanya kewibawaan dalam pergaulan pendidikan:
1. Bila kewibawaan tidak ada, maka pergaulan pendidik dengan anak didik hanya atas dasar “pengaruh ketertarikan anak kepada pendidiknya”.
2. Bila kewibawaan tidak ada, maka kepenurutan anka akan terjadi berka pemahaman anak atas pengalamannya sendiri.
Berdasarkan alasan itu M.J. Langeveld (1980:60-61) mengemukakan bahwa “ adanya kewibawaan itu menciptakan kemungkinan orang dewasa memberikan banuan kepada orang yang masih belum dewasa”, karena itu “kewibawaan ialah syarat mutlak untuk pendidikan”.
Apabila kita hubungkan dengan uraian sebelumnya, maka batas bawah pendidikan atau dimulainya pendidikan itu adalah pada saat ketika anak telah mulai memiliki penyadaran dirinya sedangkan batas atas pendidikan ketika tujuan pendidikan tersebut tercapai yaitu saat anak mencapai kedewasaan.
Pendidikan tidak akan berlangsung dalam pergaulan anak dengan anak karena dalam pergaulan mereka tidak akan terdapat hubungan berdasarkan kewibawaan serta tidak jelas pula siapa yang bertanggung jawab.
Begitu pula pergaulan antara orang dewasa dengan orang dewasa tidak akan berlangsung pendidikan karena kedua belah pihak telah memiliki tanggung jawab atas dirinya sendiri. Memang benar dalam pergaulan orang dewasa dengan orang dewasa terdapat pengaruh positif bagi perkembangan kedua belah pihak. Namun, hal itu bukanlah pendidikan melainkan bildung (M.J. Langeveld 1980:60-61)